Tugas utama dari roda adalah berputar, dan membawa sesuatu yang bertumpu di atasnya, menuju ke suatu masa yang masih rahasia dan tidak diketahui.
Hal ini sering kali juga disebut oleh kebanyakan orang dengan seruan: Takdir.
Kau, aku, sedang bertumpu pada roda yang berbeda.
Dalam masa pertumpuan ini, banyak hal berubah-ubah, berputar-putar, asing, dan kadang kala kita luput, lalu hilang.
"Kapan kau kembali, bung?"
Aku persis sepertimu, pertanyaan dan kegelisahan kerap kali memburu, mereka tidak mengindahkan apa-apa dariku. Kecuali, "Segeralah kembali, bung!"
Roda yang kutunggangi kini, adalah yang paling rahasia dan tersial.
Aku sibuk dibuatnya, lupa, atau mungkin sedang tak menyadari bahwa sesuatu dariku sebetulnya telah hilang.
Aku pun sebetulnya rindu pada kotamu, ingin sekali kembali, dan menggilai lagi apa-apa yang membuat kita terlihat tidak lebih waras dari kota yang lupa memakmurkan kita.
Aku mencintai perjalanan menuju rumahmu, dan kemacetan yang kutemui nyaris di tiap meter laju bus kopaja.
Aku mengagumi gambar logo tiket dari salah satu stasiun kereta yang sering kita tumpangi sepulang dari lokasi wisata kebun binatang.
Kita pernah menjadi dua pelajar yang duduk di bangku yang serupa, kau duduk di dekatku, dan guru terkadang datang terlambat.
Kau mungkin masih ingat, aku punya prestasi akademik yang cukup cemerlang untuk seorang murid pembangkang sepertiku pada masa itu.
Tapi, prestasiku seperti mati, tak bernyali untuk menyelesaikan jawaban dari pertanyaan yang kau hunus, dan sisa saldo pulsa dari ponselmu selalu habis tepat sebelum aku selesai menjawab apa-apa, dan aku selalu mensyukuri insiden yang kau benci itu.
Rodaku, entahlah.
Begitu pula rodamu, aku tak mengindahkan.
Takdir membawa kita ke ruas yang berbeda.
Aku mengenalmu sebagai teman, dan takdir, juga waktu, mengganti namamu sebagai, sahabat.
Semoga kita kekal, bung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar